Warisan Monumental Timah Membentuk Peradaban Masyarakat Bangka
PANGKALPINANG, DISKOMINFO – Peradaban masyarakat Bangka saat ini tidak terlepas dari penambangan timah sejak awal-awal masehi. Penambangan timah bisa dikatakan sebagai awal mula terbentuknya peradaban masyarakat di Pulau Bangka.
Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, Akhmad Elvian mengisahkan peradaban masyarakat yang tak terlepas dari sejarah penambangan timah. Elvian juga menulis buku berjudul Timah dan Peradaban Bangka. Dia memulai menceritakan sejarah Pulau Bangka yang dijuluki Pulau Timah dimulai dari isi Kitab Milindrapanta dan Mahaniddessa pada abad 1 – 3 masehi. Didalamnya dituliskan beberapa negeri di Lautan Selatan ada yang disebut Jawa Dwipa (pulau penghasil padi), Swarna Dwipa (pulau penghasil emas) dan Wanka Dwipa (pulau penghasil timah).
“Jadi nama Bangka itu berasal dari kata Wanka atau Vanca dalam Bahasa Sanskerta berarti timah,” kata Elvian.
Kemudian sekitar abad 5 – 7 masehi timah di Pulau Bangka mulai dieksplorasi namun dalam jumlah terbatas. Terak-terak sisa peleburan timah pada abad 5 masehi itu ditemukan di situs Kota Kapur, dan timah dijadikan sebagai bahan campuran pembuatan peralatan yang disebut dengan perunggu. Perunggu merupakan campuran dari tembaga dan timah.
Timah mulai dieksplorasi dan eksploitasi besar-besaran dimulai sekitar awal abad 18 masehi. Ketika terjadi revolusi industry di Eropa yang membutuhkan bahan baku logam khususnya timah. Timah menjadi komoditas yang sangat laku di pasaran Eropa. Begitu pun di Asia, timah dijadikan sebagai campuran untuk membuat uang logam, yang biasanya dicampur dengan perak dan emas.
“Di China ada tradisi membakar uang-uang kertas atau kimci. Biasanya dilapisi stannum (Sn) atau timah agar proses pembakaran lebih cepat. Pada saat itu timah menjadi komoditas paling laku di dunia,” kata Elvian.
Di tahun 1706 – 1710, timah di Pulau Bangka mulai ditemukan dalam deposit besar sehingga dilakukan eskploitasi dan eksplorasi besar-besaran. Pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago tahun 1710, dia menandatangi perjanjian perdagangan timah dengan VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) sehingga untuk menambang timah diperlukan keahlian dan tenaga kerja terampil.
“Kontrak perdagangan timah itu memperbaharui kontrak perdagangan lada yang sudah ditandatangani lebih awal. Jadi kontrak sebelumnya ditambah dengan kontrak timah, “ lanjutnya.
Sejak pada saat itu lah timah mulai ditambang dengan teknik sederhana, teknik pribumi Bangka yang disebut teknik Toboalih. Teknik itu masih digunakan sampai akhir masa kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo di wilayah Bangka Selatan dan Bangka Tengah tahun 1757. Sedangkan untuk wilayah Bangka Barat dan Utara sejakTahun 1724 dimulai dengan teknik baru ketika Sultan Mahmud Badaruddin I mendatangkan pekerja tambang dari China, Vietnam, Kamboja, Laos, Semenanjung Malaka, Johor dan Siantan serta Patani untuk menambang timah di Bangka karena Sultan memperbaharui kontrak timah dengan harus menjual sekitar 30 ribu pikul timah ke VOC setiap tahunnya.
“Untuk memenuhi kuota harus didatangkan orang-orang yang ahli terutama menguasai teknik baru. Sejak itu timah menjadi “tambang emas” kedua ibaratnya yang mendatangkan kemakmuran dan keuntungan besar bagi pemerintah belanda setelah produk-produk perkebunan,” sambung Elvian.
Timah mendatangkan kekayaan nomor dua setelah hasil perkebunan untuk membangun kota-kota besar di Belanda.
Elvian menuturkan, timah dieksploitasi sejak abad 5, 7, 18 dan sampai sekarang masih terus dieksploitasi oleh penguasa-penguasa sesuai zamannya. Karena rentang waktu panjang proses penambangan timah di Bangka itu lah yang membentuk peradaban masyarakat Bangka.
Pertama, pembangunan kota-kota di Bangka yang didirikan dalam konteks penambangan timah. Pangkal-pangkal didirikan untuk mengatur distribusi timah yang didirikan pada masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adikusumo pada tahun 1757-1776 itu adalah pangkal-pangkal yang sekarang menjadi kota-kota di Pulau Bangka. Seperti Pangkalpinang, Toboali, Baturusa, Sungailiat, Belinyu, Jebus dan Mentok, yang awalnya merupakan pangkal kedudukan demang dalam mengatur pendistribusian timah.
Kedua, masyarakat Bangka terbentuk dari beberapa etnik grup. Ada orang darat, orang laut, orang Tionghoa dan orang Melayu. Pembentukan masyarakat Bangka yang dikenal sekarang adalah proses asimilasi dan akulturasi dari empat etnik grup. Orang Tionghoa dan Melayu adalah pendatang dalam konteks menambang timah. Mereka melakukan asimilasi dan akulturasi dengan orang darat dan orang laut yang merupakan pribumi Bangka sehingga membentuk masyarakat Bangka yang dikenal sekarang.
“Jadi orang bangka yang dikenal sekarang proses pembentukannya tidak terlepas dari proses penambangan timah,” ujar Elvian.
Banyak kampung-kampung di Pulau Bangka yang terbentuk dari kampung-kampung bekas penambangan timah. Misalnya penamaan Sung Sha Thi atau Pasir Putih, Tambang 46 atau kampung Si Luk. Jadi penamaan kampung-kampung ini didirikan dari bekas penambangan timah.
Ketiga, peradaban Bangka ditandai dengan system penambangan timah yang istilah penambangan masih berlaku sampai sekarang, misalnya untuk menyatakan waktu kerja dan lama kerja digunakan system Kung atau Dagtak.
“System kerja itu awalnya ada dipertambangan timah sampai sekarang masih diberlakukan,” katanya.
Penambangan timah berpengaruh terhadap system social, ekonomi dan budaya masyarakat termasuk system upah kerja. System budaya juga dipengaruhi misalnya orang-orang Tionghoa yang datang ke Bangka untuk menambang timah boleh menikah dengan perempuan pribumi Bangka, tetapi harus membayar uang persembahan atau Tetukun sebesar 24 ringgit. Namun perempuan pribumi tidak boleh dibawa pulang sehingga orang Tionghoa harus tinggal di Bangka.
“Makanya banyak sekali orang Tionghoa di Bangka. Dari hasil pernikahan tersebut lah melahirkan orang-orang yang istilahnya disebut peranakan. Budaya masyarakatnya pun dipengaruhi melalui proses perkawinan,” ujar Elvian.
Akibat penambangan timah ini berpengaruh pada sector social budaya. Membentuk peradaban masyarakat Bangka sekarang. Sampai yang terpenting timah mempengaruhi hukum adat istiadat setempat.
Begitu pun dengan dibangunnya Masjid Agung Kubah Timah di Kota Pangkalpinang. Menurut Elvian, membangun kota harus berdasarkan konsep historis dan filosofis. Historisnya yaitu sebagai salah satu distrik penambangan timah yang produktif di Pulau Bangka.
Dari sisi pemerintahan, Kota Pangkalpinang sebagai pusat ibukota keresidenan Bangka sejak 3 September 1913, saat ibukota dipindahkan dari Mentok ke Pangkalpinang, dan Tahun 1933 Pangkalpinang kemudian menjadi ibukota Keresidenan Bangka Belitung.
“membangun kota berdasarkan konsep ini dan memang Pangkalpinang sebagai salah satu kota produktif penghasil timah. Harus meninggalkan warisan yang monumental terkait timah. Harus ikonik dan berdasarkan aspek filosofis dan historis, salah satunya membangun Masjid Agung Kubah Timah,” kata Elvian.
Adanya Masjid Agung Kubah Timah ini, kata Elvian, sangat luar biasa menghargai masa lalu timah dan pemerintahan di Bangka. Menghargai timah yang membangun peradaban kita pada masa lalu, ditampilkan pada masa kini dengan bangunan yang ikonik seperti masjid untuk merangkul masa depan.
“Jadi anak cucu kita akan tau timah membangun peradaban kita dari masa ke masa. luar biasa dengan pembangunan masjid agung kubah timah yang ikonik. ikonik itu bisa diinderai dengan panca indra denqan baik. Ketika melihat bangunan masjid panca indra kita bekerja. Luar biasa. Honoring the past, celebrating the present, dan embracing the future,” tutupnya.
Penulis: Ira/Seftia
Editor: Ira/Dedy